Selasa, 07 Februari 2012

Istilah Onani Bukan Dari Alkitab (Makalah)


KEJADIAN 38:9









Paper
Teologia Perjanjian Lama 2
Bp. Widjanadi H, S.Th







Oleh
Setiawan
122094013






Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya
2012





















BAB I

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

            Keanekaragaman pemahaman terhadap cerita Yehuda dengan Tamar yang dicatat di dalam Alkitab, tepatnya di dalam Kejadian 38:1-30 adalah hal yang menarik untuk dipelajari. Karena cerita ini mengandung banyak kebenaran-kebenaran praktis yang dicatat dalam Alkitab. Misalnya saja, konsep levirat[1]antara anak-anak Yehuda dengan menantunya Tamar, yang pada akhirnya Yehuda sendirilah yang menjadi suami dari menantunya. Peristiwa ini sering dipahami sebagai legalitas untuk melakukan poligami, dengan alasan untuk mendapatkan keturunan. Tentunya untuk membenarkan hal tersebut perlu studi khusus untuk dapat memiliki kesimpulan yang benar dan tidak bertentangan dengan norma-norma lain yang terdapat di dalam Alkitab.
            Khususnya dalam kasus Onan, peristiwa ini di akui sebagai asal muasal dari konsep Onani (manstrubasi), baik dari segi etimologi maupun dari tahap-tahap yang dilakukan oleh Onan terhadap istri kakaknya, yaitu Er adalah murni mastrubasi. Di percaya bahwa konsep onani adalah sejarahnya dari cerita ini. Baik kalangan teolog Kristen maupun diluar kekristenan, pemahaman tentang onani selalu dikaitkan dengan Kejadian 38:9.
            Tanpa disadari melalui ayat ini telah dipahami sebagai ayat acuan ketika berbicara tentang mastrubasi. Menunjukkan bahwa istilah dan praktek mastrubasi dalam Alkitab sudah terjadi. Padahal pemahaman tentang mastrubasi sebenarnya dibahas dalam ayat-ayat lain yang terdapat dalam Alkitab, bukan dalam Kejadian 38:9, yakni cerita tentang Onan.
            Jadi, melalui tulisan ini akan menjelaskan tentang proses dari pada kasus Onan yang sebenarnya. Sekaligus membuktikan bahwa perbuatan Onan tidak ada kaitannya dengan mastrubasi.
           


































BAB II
ARTI KATA “MEMBIARKAN TERBUANG”



Ø  Teks
·         Teks Ibrani

Kejadian 38:9
לְאָחִֽיו׃ נְתָן־זֶ֖רַע לְבִלְתִּ֥י אַ֔רְצָה וְשִׁחֵ֣ת אָחִיו֙ אֶל־אֵ֤שֶׁת אִם־בָּ֨א וְהָיָ֞ה הַזָּ֑רַע יִהְיֶ֣ה לֹ֖ו לֹּ֥א כִּ֛י אֹונָ֔ן וַיֵּ֣דַע

·         Dalam terjemahan Septuaginta
γνους δε αυναν οτι ουκ αυτω εσται το σπερμα εγινετο οταν εισηρχετο προς την γυναικα του αδελφου αυτου εξεχεεν επι την γην του μη δουναι σπερμα τω αδελφω αυτου     

·         Dalam Terjamahan Baru
“Tetapi Onan tahu, bahwa bukan ia yang empunya keturunannya nanti, sebab itu setiap kali ia menghampiri isteri kakaknya itu, ia membiarkan maninya terbuang, supaya ia jangan memberi keturunan kepada kakaknya”

Ø  Analisis sintaksis
       
·      וְ     :particle conjunction  
·      שִׁחֵ֣ת :verb/piel/waw consec perfect/III/masculine/singular  
·      Kata dasar: שִׁחֵ֣ת:     corrupt :           jahat, buruk, merusak, mengubah
spoiled :           membuang-buang, membuat busuk, merusak
·      Kata ini dipakai dan terjadi sebanyak 151 kali dalam Perjanjian Lama.  Tidak ada perbedaan dalam penerjemahan kata ini.
·      Kata שִׁחֵ֣ת mempunyai bentuk kata kerja Piel yang berarti mempertegas arti dasar kata kerja Qal yang berarti kata kerja ini lebih kuat dari kata kerja Qal. Piel menggambarkan suatu tindakan yang dilakukan dengan lebih tegas atau secara berulang-ulang.[2]
Jadi, kata menghancurkan/membuang yang diterjemahkan dalam bagian ini, bukan hanya sekedar membuang tanpa ada maksud tertentu. Begitu pula halnya dengan terjemahan menghancurkan, bukan hanya menghancurkan karena tidak berguna ataupun sudah tidak bermanfaat lagi, sehingga harus dihancurkan/dimusnahkan. Tetapi sesuai dengan penekanan pada kata kerja piel, kata שִׁחֵ֣ת memiliki makna lain yang lebih dalam. Seharusnya kata שִׁחֵ֣ת harus dijelaskan dalam satu kalimat untuk mendapatkan arti yang sesungguhnya, yakni: “Onan membuang maninya ke tanah, karena kelicikkan hati Onan untuk tidak memberikan anak kepada Tamar”. 

Ø  Penerjemahan dan pemakain kata שִׁחֵ֣ת, antara lain:
o   Sebagai salah satu cara untuk menghancurkan atau bertindak nakal
o   Membuat tidak ada gunannya lagi
o   Suatu kebijaksanaan yang licik atau korup dengan tujuan kebohongan
o   Dalam konteks zaman Perjanjian Lama kata ini juga diartikan sebagai suatu bangsa yang melecehkan umat perjanjian Tuhan (Israel) dengan cara menghancurkan atau memusnahkan suatu bangsa dan harta mereka dirampas.
o   Korupsi moral yang berarti hilangnya intergriy dan kebajikan bagi yang melakukannya
Kesimpulan_ semua penerjemahan dalam pemakaian khusus kata ini tetap mengaju kepada hal-hal yang jahat. Menjelaskan arti sesungguhnya bagi orang-orang ataupun bangsa yang melakukan tindakan untuk menghancurkan serta berlaku licik, istilah inilah yang cocok untuk menggambarkannya dan memang dikhususkan untuk hal-hal yang jahat. Tidak pernah didapati penjelasan bahwa sekali-kali kata ini bisa ditujukan pada perbuatan/tindakan yang baik. Artinya bahwa ketika kata שִׁחֵ֣ת dipakai dalam sebuah kalimat untuk menjelaskan sesuatu. Selalu berarti penulis sedang menjelaskan bertapa jahatnya dan bobroknya kehidupan orang yang sedang penulis ceritakan.


Ø  Arti Dari Kata Mastrubasi (Onani)
Onani memiliki banyak istilah. Seperti dalam bahasa Yunani. Onani adalah Mastubare, Manus(Tangan), Stuprate (penyalah gunaan) yang artinya penyalah gunaan tangan atau dalam istilah ilmiah Coitus Interruptus. Onani adalah pemuasan hasrat seksual yang dilakukan oleh diri sendiri dengan melakukan rangsangan terhadap alat kelamin.[3] Juga bisa dikatakan sebagai stimulasi mandiri (self-stimulation) secara langsung pada organ genital yang meningkatkan gairah seksual untuk mencapai kenikmatan erotik, dan berakhir dengan orgasme.
Selain diri sendiri, praktek mastrubasi juga bisa dilakukan dengan bantuan orang lain. Dengan cara yang sama melakukan rangsangan terhadap alat kelamin yang mau melakukan mastrubasi.
Tujuan dari pada mastrubasi adalah semata-mata untuk memuaskan hasrat seksual, yaitu salah satu cara untuk menyalurkan naluri seksual dari berbagai cara-cara lainnya. Misalnya: melakukan hubungan intim dengan pasangan (suami-istri), memakai alat bantu untuk mencapai orgasme.
Kesimpulan_  Dari cara dan tujuan mastrubasi yang dijelaskan diatas, menunjukkan bahwa praktek ini adalah suatu cara pemuasan diri sendiri dari naluri seksual. Dalam praktek ini juga memerlukan objek yang berupa khayalan seseorang yang melakukan mastrubasi, sehingga membantu mempercepat dalam mengalami orgasme. Disini letak kesalahan dari pada praktek ini, murni adalah mengkhayalkan seseorang lawan jenisnya sedang bersetubuh dengannya atau juga dengan melihat gambar-gambar porno dan tayangan-tayangan film blue. Dosa ini tidak lain adalah termasuk dalam kesepuluh hukum Taurat, yakni “...jangan mengingini”. Ketika seseorang melakukan mastrubasi dalam khayalannya ia mengingini orang lain seakan-akan sedang bersenggama dengannya. Hal tersebut tentunya menjadi dosa.
Ø  Dosa Onan
Di dasari dengan ikatan hukum Levirat yang harus diikuti oleh Onan sebagai penerus keturunan bagi saudaranya, maka Onan diharuskan menjadi suami dari istri kakaknya Er. Onan tahu bahwa benih yang akan dilahirkan tidak akan  menjadi miliknya/anaknya - Artinya, bahwa anak tunggal seorang janda saudaranya harus diperhitungkan sebagai anak saudara almarhum, dan namanya tidak disebut sebagai anak dari Onan, meskipun ayah kandung anak itu adalah Onan sendiri serta tidak muncul dalam tabel silsilah keluarga.
Kejadian bermula ketika ia menghampiri istri kakaknya, untuk tinggal bersama sebagai suami istri dengan dia, ia telah menikahi menurut arahan ayahnya. Onan melakukan hubungan layaknya suami istri terhadap istrinya, tetapi Onan malah menumpahkan air maninya ke tanah. Agar tidak masuk kedalam rahim istrinya, supaya tidak terjadi pembuahan yang menghasilkan seorang anak.
Karena melakukan hal tersebut Onan di hukum oleh Allah dengan hukuman mati, dimata Tuhan apa yang dilakukannya adalah jahat. Kejahatan yang dimaksud adalah berawal dari ketidaksediaan Onan untuk membangkitkan keturunan dari istri saudaranya. Maka ia dengan sengaja berbuat curang atau licik membuang maninya keluar. Kecurangan inilah yang membuat Onan bersalah kepada Tuhan karena tidak melakukan apa yang menjadi tanggungjawabnya sebagai bagian dari keluarga Yehuda yaitu sebagai anak.
Sebenarnya Onan bisa saja bebas dari ikatan hukum Levirat dengan melakukan upacara Halizah.[4] Halizah (atau Chalitzah; Ibrani : חליצה) adalah upacara dimana seorang janda dan adik suaminya bisa menghindari kewajiban untuk menikah setelah kematian suaminya. Upacara melibatkan melepas kasut kakak ipar dengan janda dari seorang saudara yang telah meninggal tanpa anak, di mana upacara dia dibebaskan dari kewajiban menikahinya, dan dia menjadi bebas untuk menikah siapa saja yang dia inginkan ( Ulangan 25 :5-10 ). Hanya satu kakak ipar perlu melakukan upacara. Kebiasaan lama dari pernikahan levirat ( Kejadian 38:8 ), dengan mengijinkan saudara yang masih hidup untuk menolak untuk menikahi janda saudaranya, asalkan ia tunduk kepada upacara Halizah. Ulangan 25:7-10.
Secara teori, bagaimanapun, hukum Alkitab pernikahan levirat masih dianggap berlaku, dan dalam upacara halizah, anggapan adalah bahwa saudara ipar membawa aib pada diri sendiri dan kepada keluarganya dengan menolak untuk menikahi janda saudaranya.
Tetapi jalur dengan melakukan upacara halizah tidak dipilih oleh Onan. Onan menikahi Tamar tetapi tidak bersedia memberikan anak baginya.
Kesimpulan_ kelicikkan yang diperbuat oleh Onan terhadap Tamar adalah hal yang jahat. Ia mengingkari janjinya sebagai suami, membohongi ayahnya Yehuda dengan berpura-pura menjadi suami dari Tamar. Onan juga menentang hukum Tuhan yang mengharuskan ia harus menjadi seorang penerus keturunan keluarga saudaranya.














BAB III
KESIMPULAN TEOLOGI

            Kejahatan Onan dimata Tuhan terlihat jelas ketika ia berbuat yang tidak seharusnya ia lakukan terhadap Tamar, yaitu dengan sengaja membuang maninya keluar agar tidak membuahkan anak didalam rahim Tamar. Ini bisa terjadi bukan karena Onan tidak mau mempunyai anak, tetapi karena terikat dengan hukum levirat yang berlaku pada saat itu, makanya ia berbuat curang seperti itu. Latar belakang inilah yang menjelaskan lebih dalam bertapa jahatnya Onan dimata Tuhan yang menolak untuk memberikan anak kepada Tamar, sehingga ia dihukum mati oleh Allah.
            Dosa yang dilakukan oleh Onan lebih jahat/bobrok dari pada dosa mastrubasi. Walaupun sama-sama dosa dihadapan Tuhan, tetapi proses dan tujuan dari kedua kasus ini sangatlah jauh berbeda. Mastrubasi bertujuan untuk memuaskan diri sendiri dari naluri seksual. Sedangkan Onan bersetubuh kepada istrinya selayaknya hubungan suami istri yang legal dihadapan Tuhan, tetapi karena ia melakukan hal salah yang mempunyai tujuan jahat pada saat bersetubuh ia membuang maninya keluar. Disinilah letak kejahatan Onan sebenarnya yang sudah ia kian rencanakan lebih awal.










BAB IV
PENUTUP

            Proses dari kasus Onan  yang ia lakukan kepada Tamar di mulai dari tanggungjawabnya sebagai anggota keluarga yang harus menaati hukum levirat. Pertama, ia setuju dengan hukum levirat dengan bersedia menikahi istri dari kakaknya. Ketika ia menyatakan bersedia menjadi suami dari Tamar, secara otomatis juga ia menyetujui hukum-hukum yang berlaku dalam melaksanakan perkawinan levirat. Tetapi pada akhirnya Onan tidak melakukan tanggungjawabnya sebagai suami yang artinya Onan tidak sepenuhnya melakukan levirat. Kedua, Onan membiarkan maninnya keluar dengan sengaja ketika ia bersetubuh dengan Tamar. Ketiga, bukan hanya terlampiaskan kebutuhan seksualnya, tetapi yang lebih penting Onan berhasil menipu keluarganya dengan berpura-pura menjadi suami bagi Tamar. Hal ini merupakan strategi Onan untuk bisa lepas dari hukum levirat dan ternyata ia berhasil mewujudkannya. Keberhasilan ini bagi Onan jauh lebih memuaskan dari pada hal seksual.
            Perbedaan antara mastrubasi dengan perlakuan Onan terhadap Tamar sangatlah mencolok baik dari segi cara atau prakteknya, maupun dari tujuan masing-masing. Hal ini membuktikan bahwa istilah onani bukan berasal dari kata Onan dan juga praktek Onani/mastrubasi tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh Onan. Kedua istilah ini tidak bisa disamakan ataupun dikait-kaitkan, apalagi Kejadian 38:9 dijadikan sebagai acuan dari sejarah awal daripada onani.


                [1] Levirat adalah perkawinan ipar, berlaku untuk saudara laki-laki yang belum punya istri.
[2] T.G.R.Boeker, Bahasa Ibrani Jilid II, (Jawa Timur: Literatur YPPII, 1993), h.45
[4] http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&prev=/search%3Fq%

Senin, 06 Februari 2012

MESIAS

MESIAS

Pengertian kata Mesias
    Kata Mesias diambil dari bahasa Aram mesyiha, yaitu dialek dari bahasa Ibrani masyiah, yang berarti “yang diurapi”. Pada awalnya, kata ini menunjuk pada raja yang sedang berkuasa di Kerajaan Israel Raya, terutama yang berasal dari dinasti Daud. Lambat laun kemudian hari istilah mesias ini digunakan untuk Raja keselamatan yang akan datang, sebagai pengharapan bangsa Israel, yang sering dikumandangkan oleh para nabi.  Dalam PL digunakan untuk raja-raja dan untuk imam-imam, terutama raja Daud dan penggantinya, tetapi juga untuk Koresy (Yes 45:1).  Secara harfiah, arti kata "Mesias" atau “ Kristus" (dalam PB menjadi Kristus, bah. Yunani: khristos) adalah "seseorang yang diurapi dengan minyak yang kudus" atau "seseorang yang ditahbiskan". Dalam catatan-catatan PL, ada banyak orang yang disebut sebagai "mesias", sebut saja Koresy dan Daud.

Konsep Yahudi
    Istilah Mesias adalah gelar yang dipakai secara resmi oleh tokoh utama yang dinanti-nantikan oleh orang Yahudi yang adalah hasil pemikiran dari Yudaisme.  Umat Yahudi, sebelum dibangkitkannya Yesus ke dunia, memiliki konsep tentang "mesias" atau padanan kata Yunaninya, "kristus", yaitu sebuah konsep lama yang mendambakan kedatangan seorang tokoh Yahudi, yang mampu membawa bangsa Yahudi menuju kejayaan. Mereka berkeyakinan bahwa Mesias yang diidam-idamkan itu akan datang kemudian dan berasal dari keturunan Daud (Yeremia 23:5; 33:15).  Jadi, tokoh ini adalah seorang yang bisa memimpin mereka dalam segala segi kehidupan, termasuk bidang politik pada masa itu.

Konsep Mesias
    Pertama, pengurapan dihubungkan dengan nabi (1 Raj 19:16, Yes 61:1), merupakan tuntutan nabi bahwa Roh Allah ada padanya. Kedua, pengurapan dihubungkan dengan imam. Allah memerintahkan imam-imam diurapi dan disucikan (Kel 28:41; 29:7). Ketiga, pengurapan terutama dihubungkan dengan raja (1 Sam 16:12,13; Maz 89:20; dll). Dapat dimengerti bahwa sang terurapi adalah nabi, imam dan raja.  Ketiga peran ini adalah menjadi ciri Yesus. Dari sini menjadi jelas bahwa Yesus yang disebut Kristus sebetulnya lebih dari hanya sekedar nama diri atau gelar, tetapi Yesus sang Kristus. Dalam Zak 9:9 ditegaskan pengharapan Mesias dalam satu pribadi dengan jelas berbentuk tunggal. Zakharia menunjukkan dan membangun jembatan kepada Mesias PB yang digenapi oleh Yesus Kristus dimana jabatan raja, imam dan nabi dipersatukan dalam diri-Nya.
   
Perbedaan Konsep
Selain Yesus, Koresy, dan Daud, Alkitab juga mencatat beberapa orang lainnya yang juga disebut sebagai "mesias", yaitu: Saul (1 Samuel 10:1), Harun (Imamat 8:12), Elisa (1 Raja-raja 19:16), dan Salomo (1 Raja-raja 1:39). Jika digunakan padanan kata "mesias" dalam bahasa Yunani, "kristus", maka nama orang-orang tersebut menjadi: Yesus Kristus, Koresy Kristus, Daud Kristus, Saul Kristus, Harun Kristus, Elisa Kristus, dan Salomo Kristus. Namun demikian, kata "mesias" dalam ayat-ayat di atas, dalam Alkitab Indonesia diterjemahkan sebagai "orang yang diurapi-Nya". Sementara kata "mesias" yang menunjuk kepada Yesus, dalam Perjanjian Baru ditulis dengan inisial besar, "Mesias".  Sebagaimana diketahui, umat Yahudi tidak mengakui Yesus sebagai nabi ataupun mesias. Mereka menganggap Yesus sebagai manusia yang lahir dari hasil perzinahan Maria dengan laki-laki, oleh karenanya menurut umat Yahudi, Yesus tidak pantas menjadi mesias, bahkan mereka menganggap Yesus sebagai nabi palsu hingga "membunuhnya" di tiang salib.

Kesimpulan
    Setelah melihat gambaran menyeluruh tentang Mesias yang diharapkan orang Yahudi dengan konsep Mesias yang sebenarnya. Teryata tidak seluruhnya sesuai dengan apa yang mereka harapkan bahkan terlalu jauh dari pemahaman mereka sendiri tentang Mesias.

Kepustakaan
S.M. Siahaan. Pengharapan Mesias Dalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK, 2008
W.R.F. Browning, Kamus Alkitab. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2007
_______,Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF,1995
Darmawijaya, Gelar-gelar Yesus, Yogjakarta: Kanesius,1987
Artikel-artikel internet.

GAP THEORY


TINJAUAN KRITIS TERHADAP PANDANGAN TENTANG GAP THEORY





Paper
Kitab Pentateukh
Hengky Purbantoro, S.Th













Oleh
Setiawan
122094013




SEKOLAH TINGGI ALKITAB SURABAYA
2011
 




BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
    Selama ini yang seringkali menjadi perdebatan adalah mengenai masa dan obyek penciptaan. Ada penafsiran yang bertolak dari eksegesis Alkitab dan memberikan kesimpulan bahwa dalam Kejadian 1, Allah menciptakan hal-hal baru dalam waktu enam hari, dan antara Kejadian 1:1 dengan 1:2 tidak terdapat rentangan waktu. Pandangan lain mengatakan bahwa dalam Kejadian 1, khususnya mulai ayat kedua, merupakan penciptaan ulang dari Kejadian 1:1. Allah menciptakan dengan sempurna yang kemudian dirusak kembali dalam penghukuman karena pemberontakan Iblis.  Pandangan ini juga menyimpulkan bahwa antara ayat pertama dan kedua dari Kejadian 1, terdapat suatu rentang waktu yang sangat panjang. Konsep ini disebut Teori Kesenjangan (Gap Theory).

Konsep ini menempatkan jeda waktu yang tidak ditentukan antara dua ayat pertama dari Kejadian pasal 1 . Celah inilah yang telah digunakan untuk mencoba menyelaraskan Alkitab dengan cacatan geologi, yakni umur bumi sudah jutaan tahun lamanya.  Pandangan ini memiliki kerancuan karena menggunakan metode eisegesis  berdasarkan pada sains. Padahal prinsip semacam ini bukanlah prinsip eksegesis yang benar.





Bab II
PRESUPOSISI GAP THEORY

Latar Belakang
Teori Gap pertama kali diusulkan oleh Thomas Chalmer (1780 – 1847), seorang teolog dan ketua dari Free Church di Skotlandia pada awal abad kesembilan belas. Teori ini kemudian dikembangkan oleh George H.Pember melalui bukunya yang berjudul Earth’s Earliest Ages yang diterbitkan pertama kali tahun 1876.  Selama periode ini para ilmuwan mulai mengajarkan bahwa usia bumi itu milyaran tahun. Ditujukkan sebagai tanggapan terhadap komunitas ilmiah, Chalmers berteori "celah" dalam waktu antara Kejadian 1:1 dan Kejadian 1:2.  Dalam perkembangannya teori ini juga mendapat dukungan bukan hanya dari para ilmuwan saja, melainkan dari kalangan teolog Kristen. Ini merupakan bukti bahwa teori ini sudah mendapat tempat dalam pemikiran orang-orang Kristen masa itu.
Kejatuhan Lucifer
Antara Kejadian 1:1-2 terdapat suatu jarak yang tidak diketahui berapa lama. Artinya bahwa dari Kejadian 1:1 tidak langsung kepada Kejadian 1:2. Semula dunia ini indah dan sempurna sesuai yang dicatat dalam ayat 1. Tetapi ada satu peristiwa yaitu dalam ayat 2 dimana bumi tiba-tiba menjadi kacau balau. Peristiwa ini adalah jatuhnya seorang malaikat Allah yang bernama Lucifer karena ia melawan Allah, Yesaya 14:10-14.  Teori ini menjelaskan pemberontakan dan pembuangan Iblis ke Bumi. Percaya Lucifer jatuh ke dalam dosa (Yesaya 14:12-14) dan untuk pertama kalinya memasuki dosa alam semesta. Acara ini seharusnya berlangsung selama GAP (antara Kej 1:1 dan 1:2).

Konsep Haytah Tohu Wabohu
Dalam Kejadian 1:2 yaitu kata haytah tohu wabohu, seharusnya kata haytah diterjemahkan menjadi dan bukan adalah. Dengan demikian ayat ini seharusnya berbunyi “bumi menjadi belum berbentuk dan kosong” atau bumi menjadi kacau balau. Periode kekacauan (chaos) ini dianggap sesuai antara ayat 1 dan ayat 2.  Dalam teori ini terdapat presuposisi bahwa Allah tidak menciptakan bumi dalam keadaan kosong, atas dasar Yesaya 45:18,  dikatakan bahwa  “... Ia tidak menjadikan (bumi) menjadi tempat  kacau (Ibrani: tohu).  Bagaimana mungkin ada bumi yang  (tohu) dalam Kejadian 1:2, sedangkan Allah tidak menciptakan bumi yang (tohu).  Kembali lagi penyebab kekacauan ini karena kejatuhan si Iblis yang terjadi pada masa pra-Adam. Hal ini dianggap sebagai kondisi bumi yang sudah mengalami perubahan karena proses penghukuman dan dengan demikian menunjuk kepada dosa. Jadi, bumi itu bukanlah bumi yang pertama diciptakan oleh Allah.
TUJUAN TEORI KESENJANGAN
Dari kedua pandangan diatas yang merupakan landasan teori kesenjangan, dapat diambil kesimpulan bahwa teori ini dimaksudkan sebagai upaya harmonisasi Alkitab dengan sains. Di dalamnya mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan usia bumi yang kelihatannya kontradiktif  antara catatan dalam Alkitab dengan perhitungan secara geologis. Pandangan ini percaya bahwa kejadian 1:1 menggambarkan bumi sempurna. Kemudian sesuatu terjadi di gap (Lucifer jatuh dan penghakiman allah) dan bumi menjadi manja dan hancur (kejadian 1:2). Tapi, apakah Kejadian 1:2 benar-benar menggambarkan bumi hancur? Apakah bumi benar-benar menjadi manja saat ini? Apakah benar-benar ada seperti GAP itu?

BAB III
PANDANGAN ALKITAB TENTANG KEJADIAN 1:1-2

Pemahaman Eksegetikal Tentang Konsep Haytah Tohu Wabohu
•    Kata haytah berasal dari akar kata hayah yang penggunaannya mengacu pada kelanjutan dari suatu keadaan. Dalam penerjemahannya kata ini diterjemahkan dalam dua kasus, bentuk defenisi yakni menjadi dan sebagai kata kerja bantu adalah. Kata ini memang bisa diterjemahkan menjadi (bdg, Kejadian 3:22 “manusia itu telah menjadi sama seperti kita”.  Tetapi dalam konteks Kejadian 1:1-2, kata ini jelas merujuk pada kata adalah.
•    Seandainya ayat 2 adalah kelanjutan dari bentuk perfect (bara), artinya menciptakan pada ayat 1, seharusnya konstruksi kalimat yang dipakai di ayat 2 berbentuk waw consecutive + imperfect, seperti lazim ditemui di genre narasi.
•    Dalam circumstantial clause , bentuk perfect kata hayah seringkali menunjukkan keadaan statis yang diartikan adalah. Sebagai contohnya di dalam Kejadian 3:1 “ular adalah lebih cerdik…”.
Jadi untuk kata haytah pada ayat ini, diartikan dengan adalah berdasarkan struktur tata bahasanya dan maksud kalimat tersebut untuk memberikan penjelasan mengenai keadaan bumi yang belum disempurnakan oleh Allah.
Teori Pengisian Dalam Penciptaan
Makna yang sederhana dan langsung dari Kejadian 1:1-2 adalah bahwa ketika Allah menciptakan bumi awal itu awalnya berbentuk, kosong, dan gelap, dan Roh Allah ada di atas perairan. Itu melalui energi kreatif-Nya bahwa dunia itu kemudian semakin "dibentuk dan diisi" selama enam hari penciptaan yang tersisa. Pertimbangkan analogi dari sebuah potter membuat vas bunga. Hal pertama yang dilakukannya adalah mendapatkan pola dari tanah liat. Apa yang telah ia adalah baik, tetapi belum terbentuk. Selanjutnya, ia bentuk menjadi vas bunga, menggunakan roda tembikar nya. Sekarang tidak lagi berbentuk. Kemudian akan kering, menerapkan glasir, dan dibakar. Sekarang siap untuk diisi dengan bunga-bunga dan air. Semua urutan ini tidak ada salah satu tahapan dianggap jahat atau buruk. Itu hanya belum selesai terberbentuk dan terisi. Ketika akhirnya dibentuk dan diisi, itu bisa digambarkan sebagai "sangat baik."  Allah, tentu saja, tidak harus mengambil enam hari untuk menciptakan segala sesuatu, tetapi ia melakukan ini sengaja sebagai pola bagi manusia-selama tujuh hari dalam seminggu. Kejadian 1:2 menggambarkan bumi yang pada tahap awal penciptaan, tetapi itu adalah bumi yang belum pernah dikutuk.
Penafsiran Yesaya 14:10-14
Mengingat kitab Yesaya lebih berbentuk puisi, maka dalam menafsirkannya juga lebih baik ditinjau dari makna puisi. Khususnya di dalam Yesaya 14:10-14 adalah sedang menceritakan sebuah gambar baru sedang disajikan di sini. “Bagaimana engkau sudah jatuh dari langit”. Ini adalah bahwa dari bintang pagi yang cerah, dan perbandingan raja yang bermegah dengan bintang yang indah. Dia sekarang dipamerkan setelah jatuh dari tempatnya di timur ke bumi. Kemuliaan-Nya ini redup; kecerdasannya dipadamkan.   Selain itu Iblis tidak dilempar ke bumi, melainkan ke Neraka (1 Petrus 2:4) dan mengingat bahwa tidak ada satu ayat pun di Alkitab yang menghubungkan kejatuhan Iblis dengan kehancuran dunia.  Hal ini yang mendasarkan pemaknaan bisa lebih puitis dan indah dari perbandingan seorang raja yang bermegah dengan bintang pagi yang cerah! Lebih mencolok dalam kematiannya tidak mewakili apa-apa, daripada ide bahwa bintang jatuh ke bumi!
Teori Gap: Tidak ada Dukungan dalam Alkitab

Teori Gap telah dianjurkan oleh banyak pengajar Alkitab yang tulus, tetapi sebenarnya melibatkan banyak kesalahan dan serius. Secara umum, para sarjana Alkitab kontemporer dan ilmuwan tidak menerima teori ini. Tidak ada dukungan Alkitabiah untuk setiap prinsip-prinsip perusahaan yang lulus tes penafsiran Alkitab suara.




BAB IV
KESIMPULAN

    Gap theory’ ini muncul bukan sebagai hasil dari Exegesis terhadap Kej 1:1-2, tetapi sebagai hasil dari Eisegesis terhadap Kej 1:1-2. Exegesis berarti kita menggali ayat sedemikian rupa sehingga dari ayat tersebut keluar suatu ajaran. Ini adalah cara yang benar dalam menangani Kitab Suci. Tetapi Eisegesis berarti kita memasukkan pandangan kita ke dalam ayat Kitab Suci, dan ini jelas merupakan cara penafsiran yang salah.
Kalaupun di antara Kej 1:1 dan Kej 1:2 ada pemberontakan Iblis, mengapa alam semesta harus menjadi kacau / rusak? Iblis memang kuat, tetapi ia jelas sama sekali bukan tandingan Allah, sehingga ‘pertempuran’ antara Iblis dan Allah sama sekali ‘tidak seru’ dan tidak perlu sampai menghancurkan alam semesta. Pandangan yang mengatakan bahwa pertempuran Iblis melawan Allah itu sampai harus menghancurkan ciptaan Allah, adalah pandangan yang terlalu merendahkan Allah, karena secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa kekuatan Iblis dan Allah itu tidak terlalu berbeda jauh.
Bagian sebelumnya dari makalah ini telah berusaha untuk menunjukkan  "teori kesenjangan" sehingga disebut adalah tidak dapat diterima dari beberapa titik pandang. Dari perspektif ilmiah tidak ada dukungan baik dari fakta-fakta ilmu atau dalil-dalil konsep evolusi.
Adapun hubungan teori untuk isi Alkitab, telah ditunjukkan bahwa yang diklaim"bukti" yang dangkal dan kebanyakan "usia geologi" bertentangan dengan konteks langsung dan keseluruhan ayat-ayat Alkitab yang dijadikan dan diterapkan sebagai acuan pembelaan. Pandangan ini harus ditolak dalam bentuk apa pun, karena hanya dapat mengganggu pemahaman yang murni dari Kitab Suci dan berpontesi mengacaukan keutuhan dari doktrin yang selama ini telah dipertahankan oleh masyarakat Kriten pada umumnya. Tidak ada dalam teks Kejadian dianggap yang membutuhkan seperti konsep sebagai teori kesenjangan. Pemahaman kita tentang Firman Tuhan adalah penting dan vital baik dalam kesaksian Kristen dan dalam melakukan kehidupan pribadi orang percaya.

KEPUSTAKAAN

Ham, Ken; A.Snelling, C.Wieland, Jawaban Pasti, dit. Oleh Rosiana A.Wianto, (Yogyakarta: ANDI, 1995
Isak Suria, Kitab Kejadian, (Malang: GTI Bukit Zaitun, 2006)
Morris, Henry M, Genesis Record, (Grand Rapids: Baker Book House, 1994)
Purwanto, Henky, Diktat: Pentateukh, (Surabaya: STAS, 2011)
Ryrie, Charles C. Teologi Dasar 1, (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1991)

Artikel Internet
http://www.christiananswers.net/q-aig/aig-gaptheory-problems.html
http://biblecommenter.com/isaiah/14-12.htm
http://www.christiananswers.net/q-aig/aig-gaptheory-problems.html
http://www.allaboutcreation.org/gap-theory.htm






kejadian 1:26 "gambar n rupa"

Kejadian 1:26 “baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita….”
Tinjauan gramatikal
Pengarang Kejadian 1:26 menggunakan suatu bentuk jamak, bentuk pluralis, mengenai Allah.  Disebutkan  tentang suatu kejamakan atau suatu kemajemukan di dalam Allah yang bersesuaian kejamakan di dalam manusia.  Tetapi bukan menunjuk kepada kejamakan kemuliaan, yang memang dalam kebiasaan Yahudi terbiasa menggambarkan sesuatu yang mulia dalam bentuk jamak sebagai bentuk penghormatan. Karena, kejamakan kemuliaan dalam bahasa Ibrani pasti diikuti oleh kata benda, sedangkan dalam ayat ini diikuti oleh kata kerja. 
Berhubungan dengan ideologi dan tujuan penulis kitab Kejadian, mengenai paham monoteistik yang bertujuan untuk melawan politeisme.
    Sejarah mencatat banyak bangsa dan masyarakat (khususnya Romawi dan Mesir) yang percaya kepada banyak illah atau percaya kepada illah yang jamak (politeisme; termasuk matahari, sungai, katak dan bahkan kutu).  Pertanyaan adalah apakah ini merupakan petunjuk pertama tentang kejamakan dalam diri Allah? Seandainya benar, bagaimana kita bisa menjelaskan hal ini dalam konteks monoteisme (kepercayaan pada satu Allah) Yahudi yang ketat? Seterusnya dikaitkan pada tujuan dituliskannya Kejadian 1 adalah untuk melawan paham politeisme (kepercayaan pada banyak allah) bangsa-bangsa di sekitar Israel yang  menyembah binatang-binatang tertentu maupun benda-benda alam lainnya. Mengapa untuk melawan paham ini Musa justru mengajarkan kejamakan Allah.
Pendekatan yang lebih komprehensif 
Bagaimana penjelasan yang paling tepat berkaitan dengan bentuk jamak “Kita” di Kejadian
1:26? Untuk memahami hal ini kita harus memperhatikan konteks ayat 26-27 secara lebih
seksama. Perhatikan dua ayat berikut ini:
Kej. 1:27  Maka Allah menciptakan  manusia (tunggal) itu menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya  dia  (tunggal);  laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka (jamak).
Kej. 5:1b-2a Pada waktu  manusia (tunggal) itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia
(tunggal) menurut rupa Allah;  laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (jamak).
Dari dua ayat di atas terlihat bahwa manusia – yang diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah – diciptakan sebagai kesatuan dalam kejamakan. Tidak heran di Kejadian 2:18 Allah
melihat kesendirian manusia sebagai sesuatu yang tidak baik. Selanjutnya, setelah Allah
menciptakan kejamakan manusia (laki-laki dan perempuan), Ia menghendaki supaya mereka
berada dalam kesatuan yang utuh (Kej. 2:23-24 “mereka akan menjadi satu tubuh”). Artinya, Apa yang tergambar dalam penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah turut merefleksikan
keberadaan Allah yang ‘jamak tapi tunggal’.
 
Pandangan di atas lebih konsisten dengan wahyu Allah secara keseluruhan dalam Alkitab.
Perjanjian Lama memberikan petunjuk implisit tentang kejamakan dalam diri Allah yang
tunggal (Kej 3:22; 11:7). Ide ini semakin lama semakin jelas dalam Perjanjian Baru
(Mat 3:16-17; 28:19-20). Musa tentu saja tidak memahami sejelas kita memahami hal itu
sekarang. Sebagai orang yang diilhami Roh Kudus untuk menuliskan Firman Allah, Musa
hanya menaati pimpinan Roh Kudus. Dalam tingkat tertentu, ia memang memahami apa yang
ia tulis, namun Roh Kudus memiliki maksud lain yang tidak dipahami oleh Musa.